No icon

pengalaman pribadi

KETIKA AKU MENYADARI BAHWA AKU BERBEDA 

Oleh Patricia, Nani, dan Berber

Nama saya Hanna, sebelumnya saya dipanggil Dewi. Saya lahir pada tanggal 20 Desember 1977 di Jakarta. Pada tanggal 13 Desember 1979 orang tua angkat saya terbang ke Indonesia untuk menjemput saya. Mereka menginap di sebuah rumah di Jakarta melalui kenalannya dari Belanda. Seperti yang saya dengar bahwa saya ‘diturunkan’ ke sana oleh seorang pegawai panti asuhan. Halo, ini anakmu, aku ditekan ke tangan orang tuaku lalu mereka pergi. Seminggu kemudian saya menginjak usia 2 tahun, menurut orang tua angkat saya, padahal itu semua baru, menakutkan dan mengasyikkan bagi saya.

Pada tanggal 2 Januari 1980 saya tiba di Schiphol bersama orang tua angkat saya. Saya tidak ingat apa-apa tentang itu, tapi saya punya video kedatangan saya. disana saya melihat kakak laki-laki saya, anak kandung dari orang tua angkat saya, paman dan bibi, 2 keponakan dan saya pikir kakek saya dan nenek.

Jika kalian menonton videonya dengan seksama kalian sudah bisa membaca dari wajahku ‘apa yang aku lakukan disini, siapa orang-orang ini’, aku bisa membayangkan ketika aku melihat video itu pasti sangat membuatku kewalahan. Apa aku sudah bicara? Jika ya, dalam bahasa apa? 

Sepanjang yang saya ingat, saya tahu bahwa saya diadopsi tanpa mungkin bisa memahaminya di usia muda. Ada juga seorang gadis di sekolah dasar saya yang diadopsi dari Indonesia. Saya ingat bahwa kami tidak pernah benar-benar membicarakan hal ini bersama-sama sebelumnya, namun entah mengapa hal itu selalu terasa ‘akrab dan pribadi’ ketika kami bersama… kami berteman tetapi tidak pernah membicarakan tentang adopsi.

Selama bertahun-tahun aku menyadari bahwa aku merasa berbeda, tapi aku tidak bisa menjelaskannya. Selama masa pubertas, hal itu mulai semakin menggangguku, tapi bahkan saat itu pun aku tidak bisa menjelaskannya… segalanya tidak berjalan dengan baik di rumah dan saya akhirnya menyerah. Saya dikeluarkan dari rumah ketika saya berumur 15… ‘Tidak apa-apa’ pikir saya saat itu. Anda juga kadang-kadang mendengar ‘itu pasti ada hubungannya dengan adopsi’. Kalau dipikir-pikir lagi, masih terasa seperti penolakan kedua nya, tapi ternyata begitulah takdirku. Selama aku di asrama, kadang-kadang kontak dengan orang tuaku berkurang, tapi untungnya semuanya baik-baik saja lagi. 

Saya menjadi seorang ibu pada usia dini, tidak ada sehelai rambut pun di kepala saya yang berpikir untuk menghilangkannya. Hal pertama yang terlintas di benak saya adalah ‘sekarang aku akan menjaga darah dagingku sendiri, aku bisa melakukan ini, akhirnya saudara sedarah yang menjadi tanggung jawabku’. 

Aku punya teman, tapi hubunganku tidak pernah benar-benar stabil, jika terlalu sulit atau terlalu dekat aku akan pergi lagi, tapi itu tidak terlalu mengikatku. Saya tidak tahu tentang apa itu.

Sampai saya bertemu dengan pacar saya saat ini setelah dua hubungan terakhir yang menghasilkan 2 anak saya yang lain. Hubungan ini sangat berbeda, kami berbicara, mendengarkan, tertawa, melakukan perlawanan dan yang paling penting… Saya tidak merasa dihakimi atau merasa aneh atau berbeda dari orang lain. Kami benar-benar mendiskusikan segala hal satu sama lain, bahkan hal terkecil sekalipun. Ini juga mencakup informasi ekstensif tentang adopsi saya untuk pertama kalinya. Terkadang cukup sulit, karena anda berakhir dengan Hanna yang rentan… yang ingin melindungi dirinya dari setiap emosi yang menyertainya, tetapi karena teman saya memberi saya begitu banyak kepercayaan, saya menjadi semakin terbuka terhadap hal ini.

Akibatnya, isu adopsi semakin sering muncul. Pada tahun-tahun sebelumnya saya melakukan 2 upaya pencarian secara berkala. Sudah 20 tahun sejak upaya pencarian terakhir hingga sekarang. Sementara itu, saya tahu bahwa wanita di dalam arsip saya telah mengindikasikan bahwa dia tidak pernah melepaskan seorang anak.

Saya bertemu dengan Ibu Indonesia, yang mempunyai proyek DNA untuk para ibu di Indonesia yang menyerahkan anak mereka untuk diadopsi. Saya menghubungi mereka dan menceritakan kisah saya. Atas nama mereka, seorang relawan dari Jakarta mengunjungi ‘keluarga’ tersebut untuk melakukan tes DNA. Beberapa minggu kemudian saya menerima telepon dari contact person saya, tesnya negatif, tidak ada yang cocok begitu saya menutup telepon, tiba-tiba keluar emosi yang belum pernah saya rasakan sebelumnya, hati saya hancur. Disini aku (tanpa) sadar melindungi diriku darinya sepanjang hidupku. Tiba-tiba aku punya jawaban, tapi bagaimana sekarang? Lalu siapa aku? Dimana ibuku? Dimana lagi saya bisa mencari? Bagaimana ceritaku? Banyak sekali pertanyaan tetapi tidak ada jawaban.

Comment As:

Comment (0)