Dalam budaya Indonesia, pergantian nama sering kali dipengaruhi oleh beragam alasan unik. Dari mencari identitas baru hingga mengekspresikan keyakinan agama, perubahan nama menjadi sebuah perjalanan yang kaya akan makna dan perubahan diri. Berikut diantaranya:
1. Dinamika politik
Pada masa pemerintahan Orde Baru (1966-1998), terdapat beberapa peraturan yang memberi pengaruh dalam pemilihan hingga penggantian nama-nama seseorang. Orang-orang pada masa itu pun menjadikan situasi pada saat itu sebagai inspirasi untuk memberi nama anak-anaknya yang dianggap sebagai bagian dari perjuangan. Contohnya Heri Akhmadi, aktivis pergerakan mahasiswa anti Soeharto, menamai anak sulungnya yang lahir pada 1978 dengan nama Gempur Soeharto. Sertifikat kelahiran Gempur kemudian disita dan berakhir pada penggantian namanya menjadi Gempur Adi Pambrasto.
Adapun situasi lain yang mengharuskan Etnis Tionghoa pada masa itu untuk mengindonesiakan nama-nama mereka. Keputusan Presiden Nomor 240 Tahun 1967 merupakan bagian dari kebijakan asimilasi yang diterapkan pada masa Orde Baru di Indonesia, yang mewajibkan warga Tionghoa yang telah menjadi warga negara Indonesia untuk mengganti nama mereka agar terlihat lebih "Indonesia" dan mencegah kehidupan eksklusif rasial. Kebijakan ini juga mengikuti Keputusan Presidium Kabinet Ampera Nomor 127 Tahun 1966 yang menetapkan prosedur penggantian nama bagi warga Tionghoa-Indonesia.
Sumber: bbc.com
2. Keyakinan turun-temurun
Ada keyakinan di kalangan masyarakat Jawa tentang konsep "kabotan jeneng" yang berarti tekanan atau beban dari nama seseorang. Orang Jawa percaya bahwa jika nama seseorang terlalu panjang atau rumit, itu bisa menjadi beban dalam hidupnya. Hal tersebut diyakini karena orang tersebut tidak mampu berperilaku sesuai arti namanya.
Orang Jawa meyakini bahwa makna bukan hanya sekedar panggilan bagi seseorang, namun merupakan kekuatan atau jiwa dari benda hidup ataupun benda mati. Bagi mereka, nama lebih dari sekedar identitas. Nama adalah kekuatan inheren bagi subjeknya. Dalam pandangan ini, mengganti nama yang membebani seseorang merupakan obat penawar suatu penyakit yang diderita seseorang tersebut. Pada proses penggantian nama, orang tua di Jawa akan meminta bantuan tokoh masyarakat setempat yang dipercaya dekat dengan Tuhan, atau memiliki ilmu yang lebih tinggi diantara yang lain.
Dalam budaya Jawa, proses penggantian nama merupakan suatu upacara yang dianggap sakral dan penting dalam kehidupan seseorang. Orang tua akan meminta bantuan kepada tokoh masyarakat setempat yang dihormati dan diyakini dekat dengan Tuhan, atau memiliki pengetahuan spiritual yang lebih tinggi dibandingkan yang lain. Tokoh tersebut nantinya akan memimpin doa khusus untuk anak yang namanya akan diganti, dihadiri oleh anggota keluarga dan tetangga sekitar yang turut hadir sebagai saksi. Acara ini seringkali diadakan bersamaan dengan penyajian masakan tertentu sesuai dengan tradisi setelah selesainya doa, mencerminkan penghormatan dan perayaan atas langkah penting ini dalam kehidupan anak.
3. Tradisi melepas masa lajang
Di beberapa daerah di Jawa Tengah, terdapat tradisi bagi laki-laki untuk mengganti nama sebelum pernikahan yang disebut dengan tradisi "Ganti Jeneng Tuwo" yang artinya "Ganti Nama Tua" Selain sebagai harapan dan doa supaya seseorang dapat menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya, tradisi ini bertujuan agar menjadi pengingat bagi seseorang bahwa dirinya sudah memasuki masa dewasa dan memikul tanggung jawab yang lebih besar, terutama bertanggung jawab kepada istri dan anak-anaknya.
Terkadang, nama baru yang diberikan merupakan evaluasi ataupun cerminan dari kepribadian seseorang. Misalnya orang yang dipandang memiliki kharisma sebagai pemimpin, akan diberi nama "Wiyono" yang artinya pemimpin. Ataupun seseorang yang memiliki karakter yang ceroboh, akan diberi nama-nama belakang seperti "Waspodo" yang artinya waspada, atau seperti "Wicaksono" yang artinya bijaksana.
Namun tradisi ini mulai ditinggalkan semenjak adanya akta kelahiran. Dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan orang-orang mulai memandang tradisi ini tidak terlalu penting untuk dilakukan.