Oleh Patricia, Nani, dan Berber
Sebuah kabar baik telah datang bagi Yayasan Pelkris di Semarang. Sekarang, arsip-arsip berharga mereka dapat diakses melalui email oleh individu yang pernah diadopsi. Ini adalah hasil dari dukungan finansial yang diberikan oleh pemerintah Belanda, yang memungkinkan proses digitalisasi yang sangat dibutuhkan.
Arsip-arsip ini telah berada dalam penyimpanan selama lebih dari 40 tahun, tersimpan di rak buku yang lama kelamaan mulai mengalami kerusakan. Beberapa dokumen bahkan telah mencapai kondisi yang tidak dapat diperbaiki. Namun, berkat upaya tim yang dipimpin oleh Dadang Supardi, mereka berhasil meminimalisir kerusakan yang lebih banyak.
Dengan kesabaran yang luar biasa, Dadang Supardi dan timnya bekerja sama dengan Rise Foundation dari Yogyakarta untuk memindai setiap dokumen. Hasil pemindaian tersebut kemudian disimpan secara digital dalam sebuah database khusus yang dibangun untuk tujuan ini.
Melalui penandatanganan Nota Kesepahaman yang diselenggarakan secara daring, Ibu Novi Astuti selaku Ketua Pelkris Semarang dan Yayasan Ibu Indonesia yang diwakili oleh Bapak Dadang Supardi mengukuhkan kemitraan ini. Tujuan utama kerjasama ini adalah untuk memberikan kemudahan dan aksesibilitas kepada anak-anak yang diadopsi melalui Paman Gan untuk mengakses berkas-berkas mereka.
Acara penandatanganan ini menjadi lebih menarik karena Pengurus Yayasan Ibu Indonesia berpartisipasi melalui platform Zoom, menunjukkan komitmen mereka dalam mengawasi perkembangan dan pelaksanaan kerjasama ini secara efisien.
Kerjasama ini diharapkan akan membantu mengatasi hambatan dan menjembatani kesenjangan akses terhadap informasi yang mungkin dihadapi oleh anak-anak yang diadopsi. Dengan akses yang lebih mudah dan cepat ke file-file mereka, ini akan memberikan manfaat besar bagi semua pihak yang terlibat dalam proses adopsi.
Transformasi digital ini adalah langkah berharga dalam melindungi dan mengakses kembali sejarah adopsi yang penting bagi banyak individu dan keluarga di Semarang. Selain itu, ini menunjukkan bagaimana dukungan dari pemerintah Belanda dapat memberikan dampak positif yang signifikan.
Siapakah Paman Gan?
Dalam dekade 1970-an hingga awal 1980-an, sekitar 300 anak diadopsi dari Semarang oleh seorang pria yang dikenal sebagai Paman Gan, atau Tuan Gan Koen San, kepada keluarga-keluarga di Eropa dan Australia. Paman Gan menjadi figur sentral dalam proses adopsi ini.
Paman Gan aktif terlibat dalam berbagai yayasan dan organisasi di Semarang pada waktu itu, termasuk Kegiatan Kesedjahteraan Kanak Fanny, Yayasan Panti Asuhan Kristen Eunike, Badan Sosial Kristen Agape, dan Badan Koordinasi Kegiatan Sosial (Bakorkesos). Perannya sebagai perantara adopsi tidak hanya terbatas pada anak-anak yang lahir di Semarang; ia juga menjadi perantara adopsi bagi anak-anak dari seluruh Indonesia.
Selain bekerja dengan organisasi-organisasi tersebut, Paman Gan terkadang juga bekerja sama dengan organisasi adopsi lain di Indonesia, seperti Yayasan Pangkuan Si Cilik Lies Darmadji, Pondok Pelangi di Jakarta, dan Panca Dharma di Sukorejo. Namun, perannya tidak hanya berhenti di Indonesia. Di Belanda, ia bekerja dengan berbagai organisasi seperti NVP, BIA, Wereldkinderen, dan mediator swasta.
Hasil dari upaya Paman Gan ini adalah anak-anak yang diadopsi, yang sebagian besar diarahkan ke Belanda, dan beberapa ke Swedia, Denmark, Australia, dan Jerman.